Jumat, 12 April 2013

Dua Puluh Tahun Yang Lalu



Saat senja tiba, dulu …
Ada suatu keharuan yang memcahkan ketakutan.
Saat suara adzan ke empat hari itu, berkumandang
Ada kesucian datang
Layung senja memerah
Mendambakan sang putri cantik datang
Burung berhamburan keluar kandang menanti suara tangis
Dan tibalah sang putri berteriak girang merasakan angin dunia




Duapuluh tahun yang lalu, Ada wanita yang berkeringat, menangis, dan berbahagia di sebuah gubuk kecil berwarna suci

Duapuluh tahun yang lalu, ayah berlari berteriak mengatakan bahwa putri kecilnya kini terdengar tangisnya
Duapuluh tahun yang lalu, wajah sang putri mulai menghiasi hari. Memberikan sentuhan anggun di setiap tidur sang ayah bunda.
Ya, duapuluh tahun yang lalu



Aku yang dulu suci, kini berubah menjadi pelangi. Catatan mulai duapuluh tahun yang lalu, mengubahku menjadi lebih berarti. Duapuluh tahun yang lalu, aku hanya dicintai namun kini aku dapat mencintai

Duapuluh tahun yang lalu, saat pertama kali kudengar suara adzan di telinga sebelah kanan, aku mulai merangkai kehidupan.  Duapuluh tahun sudah aku merasakan pelajaran hidup, merasakan sakit, bahagia, terluka, kecewa, ditinggalkan, dan jatuh cinta. Memiliki teman, sahabat, kekasih yang menjadikanku lebih dari seorang manusia berharga.

Mulai dari duapuluh tahun silam

Aku berkelana mencari jati diri

Menghirup udara bekasi dan menggali ilmu disana, menitikan pola hidup di Kuningan serta membentuk kepribadian, berjuang di Jogjakarta lantas meninggalkan impian di pantai parangtritis, menelusuri indahnya Surabaya dan mengalirkan arus kenangan di bengawan solo. Sampai di angka duapuluh aku terjaga di Jakarta, menacapkan impian untuk terbang, melihat laut yang biru dan menyongsong ke atas awan yang putih

Sampai saat ini, aku tak pernah tau. Berapa tahun lagi aku akan menetap di alam biru ini. Semoga tahun tahun berikutnya sampai aku mendengar dan merasakan panggilan Tuhan, memerintahkan aku untuk kembali pulang. Aku akan senantiasa berbuat kebaikan agar Tuhan tetap menyayangiku dengan lebih menyegerakan doa doa yang aku pinta.




DuaPuluh Tahun yang lalu, adanya aku


Rizky A.Pratama



Senin, 08 April 2013

Ada Fase Dimana Aku Merasakan Kenyamanan ……………..

Menjengkelkan,, Waktu berputar lebih lama

Waktu seolah menuntun dan mengajak ku mengunjungi kehidupan yang abstrak. Dan kamu,orang yang mendorongku dalam keanehan ini. Bertemu orang sepertimu bagaikan mimpi di bawah terik matahari, Konyol.  Bersama dengan mu seperti sengaja membuang waktu di tengah kesibukan penting, Bodoh. Semuanya terasa aneh. Aku tak pernah mengerti, kenapa ada manusia di muka bumi ini se gila kamu. Gila dengan tingkah aneh mu, gila karena kamu seolah olah tau segalanya tentangku. Banyolan banyolan kecil yang menyayat emosiku. Tebar pesona, seakan kamu tertampan seantero bumi ini. Padahal kamu tak lebih dari seorang lelaki so tau yang memiliki keistimewaan, namun aku belum di sadarkan dengan keistimewaan yang kamu punya.

Kesempurnaan yang aku abaikan

Kamu itu orang yang menyebalkan, Angkuh. Mana ada lelaki dengan jarak seratus meter sudah tercium wangi tubuhnya, Hitam rambutnya bagaikan pergi ke salon kecantikan setiap hari. Tinggi dengan berat professional, dikagumi oleh setiap wanita tapi bersikap acuh, cuek seakan tak berhasrat. Tapi yang lebih penting kenapa kamu terus menggangguku dengan celotehan celotehan yang menjatuhkan pamorku sebagai seorang wanita. Kamu itu lebih dari seorang lelaki gila. Dan aku benci dengan kepintaranmu. Rupanya kamu telah memprogram mesin komputer dalam kepalamu. Menyebalkan !!!!!!!!

Dibelai kenyataan yang membingungkan

Pagi, siang, sore lagi dan lagi aku bertemu dengan mu, membosankan. Lelaki sepertimu?? Kamu?? Apakah ada hari dimana kamu tak lagi muncul di penglihatanku. Tak lagi berlari di otakku.  Sehingga aku dapat tenang tanpa manusia gila sepertimu. Tapi,,,,,, kenapa setiap malam hari aku malah bergulat dengan rindu ingin bertemu denganmu. Aku memimpikan lelaki gila itu. Aku mencarimu di setiap sudut ruangan. Aku tersenyum melihat pesan singkatmu. Aku ……………………………………. Fase ini aneh. Aku benci kamu yang bisa mengalihkan pikiranku dengan seluruh bayangmu.

Menjatuhkan hati namun tetap diam

Kini, melihat batang hidungmu yang sombong itu selalu menggoreskan senyum di bibirku, Menatap matamu menghasilkan getaran, entah itu apa. Hidupku absurd, aku tak lagi bisa mengatakan sesuatu tentang kamu. Kadang aku berbuat egois dengan selalu bilang tentang kelemahanmu. Tapi kenapa perasaan ini terus menonjok jantung hatiku sekan mereka tak menerima. Lain di bibir, lain di hati saat aku berpapasan denganmu. Ucapku boleh saja memunculkan kalimat yang menyebalkan, tapi hatiku terus berdayu memahami gejolak rasa. Di fase ini aku mulai jatuh cinta.

Lebih indah jika tetap ku bingkai rasa itu

Kamu mulai terlihat lembut, harum tubuhmu menyejukan hariku, keberadaanmu terasa mendekapku, Aku merasa dilindungi olehmu. Kini mataku kagum akan sosokmu, hidungku ketagihan mencium aroma parfummu. Aku jatuh hati pada Orang gila. Namun rasanya biarlah aku tetap rasakan fase fase berikutnya dengan tetap menghijabkan rasa ini di etalase hati paling dalam.



Rasanya kau tak pantas aku perjuangkan



Helai lembut ini mulai menyadarkan aku bahwa aku tidak akan pernah mampu menggenggammu. Entahlah, kenangan manis yang pernah kita lewati berdua pun rasanya enggan menyatukan lagi rasa yang dulu. Sepertinya ini ketakutanku di awal perbincangan kita. Dimana aku merasa bahwa kau sudah terlanjur fasih untuk menjatuhkan hati.  Awalnya aku bahagia dengan itu, kau mampu menjatuhkan seluruh rasamu kepadaku. Tapi ternyata aku disadarkan, oleh angin yang menari di pori pori kulitku. Kamu terlalu hebat untuk disandingkan dengan aku yang tak punya apa apa, kamu terlalu kuat. terlalu  Saat aku benar benar bahagia di dalam bingkai kemunafikan yang kau ciptakan, Lantas aku dengan lugu menari menyaksikan senyumanmu yang ternyata bukan hanya untukku
kuat untuk terus membohongiku. Kau ulur ulur hati ini, hingga aku benar benar terjun bebas dalam sumur keraguan cintamu.

Rasanya aku tidak perlu lagi berjuang menahan sesak dalam sumur kepongahanmu, harusnya aku sadar bahwa airmata tak pernah pantas mengalir karena sikapmu, aku tak perlu lagi bergulat dengan rindu, aku tak perlu lagi menahan kantuk untuk menunggu pesanmu, lagi lagi aku tak perlu untuk mencari keberadaanmu. Karena semuanya hanya aku yang melakukan dan yang lebih menyakitkan lagi bahwa kamu melakukan hal yang sama kepada dia.
Apa benar aku tak pantas? Siapa yang tak pantas? Aku atau kamu? Bila aku yang tak pantas untuk disandingkan disebelah tangan kirimu maka aku akan melepaskannya dan pergilah engkau. Aku akan tetap setia disini, setia menunggu orang yang memantaskan dirinya untuk meraih tangan kanan ku.

Ternyata selama ini aku memperjuangkan orang yang tak pernah sedikitpun memperjuangkan aku. Aku menggenggam erat tangan mu, namun kau melepaskan dan meraih tangan yang lain. Sudahkah kau puas melihat pengorbanaku yang kau sepelekan? Aku baru sadar bahwa kau tak benar benar menginginkanku. Setiap kali aku mengirimkan pesan singkat, terlalu lama aku menunggu balasanmu, dan bodohnya, aku pikir kau sedang sibuk dengan urusanmu. Tiap kali kau katakan kemerduan cinta lewat kata kata, aku lebih sering menyimpannya agar aku dapat terus tersenyum melihat pola mu yang {tidak} berjuang untukku. Tapi ternyata kau lebih suka mengakhiri pesanku tanpa kau baca sebelumnya. Kini waktu membuktikan padaku bahwa kau tak pantas untuk aku rindukan. Dari penglihatan kedua mataku, bahwasanya handpone mu tetap berada didalam penguasaan tanganmu. Dan yang lebih menyakitkan, saat kau sibuk pun kau tetap mengetikkan kata kata yang kau balas entah untuk siapa.

Aku baru mengerti, selama ini aku salah menilai kepribadianmu. Rasanya selama ini pesan singkat yang kau tunjukan hanya sebatas agar aku tak berpaling menjadi orang bodoh yang mencintaimu. Agar kau bisa mudah mendekati dan menghempaskan aku sesuai kebutuhanmu.
Maaf, Detik ini aku tak lagi menjadi orang bodoh yang merindukanmu, mencintaimu, dan menyayangimu. Lebih baik kita bangu kehidupan seperti awal lagi, dimana aku dan kamu tak saling kenal dan sapa.

Minggu, 07 April 2013

Jarak Yang Menghantarkan Aku ke Jenjang Perpisahan Kita ……

Ketika aku mulai rabun dalam kebersamaan ku dengan mu, ketika rasa bahagia sedikit menghilang di tengah senyuman hangat mu. Aku kadang tak kenal pasti tentang sedalam apa rasa yang pernah ku perjuangkan.
Dulu aku pernah menganggapmu segalanya, tapi maaf dari detik ini aku tak lagi pantas kau tunjuk sebagai orang yang mencintaimu. Dulu kau boleh bilang bahwa aku patner berjuangmu, namun kini aku hanya jadi sosok penonton yang melihatmu berjuang. Entah kamu memperjuangkan siapa.
Kita berada dalam ruang yang berbeda. Haruskah aku tetap setia dibalik kata cintamu yang bukan ditunjukan hanya untukku? Haruskah aku terus menunggu, padahal kamu lebih sering tersenyum di persimpangan jalan sebelum menemuiku? Apa harus aku tertatih menahan kantuk karena aku lebih memilih untuk merindukanmu? Sementara kamu sibuk memencet tombol handphone untuk tau keadaan orang lain?
Jarak ribuan kilometer ini mengancam kehidupanku. Aku takut bila nanti saat aku benar benar tak melihat sosok mu lagi, aku hanya bisa menangisimu dalam doa. Aku takut jika aku terlalu berharap kamu mengabulkan semua janjimu sementara kamu lebih memilih menjalani janjimu dengan yang lain. Aku takut bila rindu ini hanya satu arah, padamu. Dan kamu tak memberikan arahmu padaku.
Jika kamu pernah berkata bahwa kita akan selalu berdampingan sampai nanti kita berjalan bersama di teduhnya pelaminan, kadang membuatku ingin terus memperjuangkan rasa ini. Tetap aku pertahankan, walau aku tau rasa itu memang kian memudar. Bila kamu pernah berkata bahwa, aku sosok ibu dari anak anak mu kelak, kadang aku ingin berlari mengejarmu, dan mulai katakan lagi bahwa aku masih mencintaimu. Tapi rasanya tak mungkin, energi ku telah terkupas habis saat aku bertahan melihatmu bahagia dengan yang lain. Jalanmu telah jauh walau aku tau bahwa pandanganmu tetap untukku. Tapi aku sulit berlari, aku tak mampu berteriak. Aku kehabisan akal dan separuh nyawaku.
Mungkin kita tak pernah ditakdirkan untuk bersama, kita hanya dipertemukan untuk mengambil pelajaran saja. Jarak ribuan kilometer ini terlalu sulit didekatkan. Padahal aku sering bergemuruh menahan rindu setiap malam. Aku akan menjauhimu agar kamu bebas memilihnya. Tapi untuk saat ini aku acuh bukan berarti aku tak rindu, Aku hanya sekedar tak cinta. Aku tak cinta “moment” ini, saat kau benar benar jauh dan aku menjauhimu. Aku hanya ingin kamu tau bahwa rasa ini memudar bukan karena aku tak lagi menyayangimu. Tapi karena aku tau semua kebohongan tentang kita dan kadang jaraklah yang jadi alasannya.