Masjid tempat ibadah ku
Gereja tempat berdoa mu
Tasbih erat dalam genggamanku
Rosario melingkar di jemarimu
Al-Quran di tanganku
Al-Kitab di tangan mu
Dalam do'a ku bersujud
kau diam sambil melipat tangan
Kita sama sama menengadah, mencari cari Tuhan di sela sela dinding ruangan
Air mata mengalir membasahi bibir, mencoba mencari kepastian dari segala perbedaan
Kerinduan mengecam kematian, dari jauhnya jarak ratusan kilometer keberadaan
Apa salahku?
Apa salahmu?
Apa salah kita?
Sehingga untuk jatuh cinta saja, terasa begitu menyakitkan
Tuhan, jelaskan pada kami
Jelaskan pada kami tentang arti agama, tentang arti cinta.
Engkau memang satu
Ternyata kami yang berbeda
insp: dwitasari :)
Rabu, 28 Agustus 2013
Rabu, 14 Agustus 2013
Cinta Bukan Sebuah Perjanjian
“Kuyup, hujan hari
ini sungguh dashyat. Rasanya sendi sendi tulangku sudah tidak kuat lagi. Dingin”
Aku mencoba menghangatkan tubuh disamping kompor yang sedang bertugas memasak
mie instan. Terjerembab dan tak tau arah pulang di tengah desa orang memang memusingkan.
Untungnya ada bilik yang bisa disewa satu hari saja. Walau ketakutan angin
kencang ini menghempaskan bilik dan membawanya lari.
“sudahlah jangan kau
paksakan tubuhmu untuk tetap berada disitu, segera kekamar dan gunakan selimut.
Biar aku yang menghantarkan mie nya nanti” Tangannya mendekap hangat
pundakku dan menyeretku perlahan keluar dapur. Rasanya sentuhan itu lah yang
mengahangatkan lagi seluruh tulang belulangku.
“Tenanglah, aku sudah
membaik. Aku bisa memasakan mie untuk kita berdua. Kau duduk saja sana,”
“tubuhmu sudah
menggigil, kau mau mati kedinginan? Kalau kau mau mati sekarang, biarlah aku
pergi dulu menjauh dari bilik ini. Aku tidak mau menjadi satu satunya saksi
kematianmu. Sudah sana masuk kamar dan berbaring” Melepaskan pelukannya dan
seketika angin menghujat kencang memasuki pori poriku.
“baiklah, tolong
antarkan mie nya. Aku lapar” aku
hanya bisa diam merelakan pelukan itu pergi. Padahal, kehangatan itu aku
dapatkan dari pelukan kasihnya, bukan dari selembar selimut yang aku tak tau
itu milik siapa.
“cepat masuk, aku tak
mau kau semakin pucat karena angin yang semakin kencang” Aku masuk kamar dan meninggalkan dia yang
sibuk mengaduk mie instan yang tinggal sebungkus lagi. Dia memang benar benar
tak ingin bersamaku. Sampai untuk membuat mie berdua saja dia tak mau. Dia tak
mecintaiku.
******
“Rose, apakah kau
sudah tidur? Makanlah sebentar” Aku keluar kamar, padahal sejak tadi aku
menunggunya mengetuk pintu.
Aku kelaparan, satu mangkuk penuh aku habiskan sendiri tanpa
memberi kesempatan Daniel untuk mencobanya.
“dasar rakus, kau
tidak mengingatku?” aku tersadar dan,, yaampun tinggal air mie yang
menguning saja yang ada dalam mangkuk. Bodoh sekali.
“sudah sini sini, kau
jangan minum air ini. Ini jatahku. Ambil air putih di atas meja sana. Minumlah
secukupnya dan lekas tidur” secara spontan Daniel menguyup air mie instan
itu. Kasihan dia.
******
“aku ga bisa tidur,
Daniel” menghampirinya dan memegang tangannya, sepertinya dia tertidur
pulas. Padahal dia tidur beralaskan tikar tipis. Entahlah aku sangat mencintai
pria ini. Pria yang kadang membuatku kelimpungan menahan rindu gegara tak ada
kabar. Pria yang sering membuatku menangis dalam doa karena terlalu berat
menahan rasa cinta yang hanya aku tahu sendiri. Pria yang membuatku bahagia
dengan keistimewaan sifatnya. Entalah, pria ini yang membuka etalase hatiku
untuk menyambut cinta. Ya pria yang tidak pernah memahami kode kode yang aku
tawarkan.
Matanya terbuka ‘’sedang
apa kau disini? Ini sudah malam dan hujan.”
“biarlah, aku sudah
tidak mengantuk”
“kau pikir, kau saja
yang butuh tidur? Aku ngantuk”
Selalu begitu, dia selalu membantingkan nyaliku. Padahal ini
waktu yang tepat, saat aku dan dia hanya berdua. Aku sudah tidak tahan
menghadapi cinta sendirian. Aku ingin membagi perasaanku. Setidaknya dia tau
apa yang aku rasakan. Walau nanti, jawabannya mungkin saja akan membuatku lebih
tersakiti.
“baiklahhh, aku akan
tidur dan tidak akan mengganggumu lagi. Tapi kau harus dengar dulu.”
“dengar apa?”
“Cepatlah berdiri,
dan tengok keluar jendela. Kau akan menemukan banyak air yang jatuh.
Hitunglah….”
“dasar bodoh, mana
mungkin aku bisa menghitungnya, air hujan turun sangat cepat. Berapa liter air
yang tergenangpun belum tentu aku yakin. Cepat kau mau bilang apa?”
“oleh karena itu
dengarkan aku dulu. Lihat air yang jatuh itu. Sebanyak itulah aku menyayangimu”
“kau ini, kau mimpi?”
tubuhku digoyahnya
“aku tidak mimpi, aku
sadar dan aku bersungguh sungguh. Sekian lama aku mencari waktu yang tepat.
Sekian lama dari awal pertemuan kita, dari mulanya hanya sebagai wartawan dan
pembicara, yang awalnya hanya bertukar informasi sekilas dunia meteorology.
Tapi sekarang aku menyimpan beribu partikel partikel cinta untukmu. Kau
paham?’’
Dia menatap erat mataku. Dalam, sungguh dalam.
“maafkan aku, tapi
aku telah menjatuhkan hati pada seorang gadis yang menghubungiku tempo hari”
Lesu, aku menjadi beku saat ini. Kalimatnya barusan merengek
untuk memintaku pergi mendatangi mesin waktu, dan harusnya tadi aku tidak
menghampirinya.
“janganlah tertunduk,
maafkan aku. Mungkin kini saatnya aku terbuka, membiarkan seorang sahabat
terbaikku mengetahui yang sesungguhnya. Maukah kau mendengarkan ceritaku
tentang gadis itu? Gadis yang membuatku tenggelam dalam lautan rindu”
Kalimat itu,, aku hanyalah seorang sahabat bagi hidupnya. Seketika
aku mulai kuat, aku tak boleh egois dengan rasa ini, rasa yang kadang
mengecamku untuk tertunduk bahagia karena kehadirannya. Rasa yang tiba tiba
dapat membunuhku karena kelimpungan menahan rindu yang bertumpuk. Rasa yang tak
mengerti ada jarak ratusan kilo yang tertampang panjang memisahkan aku
dengannya. Rasa yang datang tanpa ku undang, dan tak mau pergi saat aku mencoba
melepasnya. Aku mencintainya dengan caraku sendiri. Dalam posisiku yang beku
ini, ternyata aku sulit menemukan bahagia.
“pasti, bukankah
cinta itu tanpa syarat? Aku mencintaimu,,, tanpa syarat kau pun harus
mencintaiku. Benarkan?? Bila memang iya, itu namanya perjanjian, dan cinta
bukan sebuah perjanjian. Bicaralah, aku akan dengarkan ceritamu sebagai sosok
sahabat terbaikmu. Karena aku yakin, cinta seorang sahabatlah yang murni, yang
tak meminta balasan cinta dari orang yang dia kasihi.”
Kalimat tadi terlontar begitu saja, semoga hatiku dengan
mudah merasakan kelapangan. Semoga cinta itu dapat mengantarkan tuannya menuju
kebahagiaan. Karena untuk mencapai bahagia bukan saat dicintai oleh orang yang
aku cintai. Tapi saat merelakan dia mencintai cinta yang semestinya. Aku tegar.
Mataku berbinar menanti kalimat apa yang dia perdengarkan lagi.
“kau ini, apakah kau
sanggup ? kau sanggup mendengar cerita dari orang yang menyakitimu?’’
Daniel merubah posisi duduknya, sepertinya dia pun merasakan
ketegangan. Matanya yang semula masih sulit di bentangkan kini terbuka dan
terpaku melihat sosokku.
“siapa yang
menyakitiku? Bukankah kebahagiaan itu hadir saat keduanya dapat memberikan
kenyamanan? Bukankah kebahagiaan itu terdapat saat kita bisa saling menguatkan
tanpa harus memiliki? Jadilah dirimu sendiri dan pilihlah cintamu. Bila kau memilih
aku, itu bukan namanya cinta, tapi kemunafikan. Cepatlah, aku sudah tak sabar
mendengar dan mengetahui siapa gadis itu.”
“Bila kau memaksa,
aku akan ceritakan semua. Aku mencintai seorang gadis. Aku mencintai gadis itu
karena kesederhanaannya, karena hijabnya, karena kepintarannya, karena pesona
lembutnya, karena dia yang tak memilih istimewa padahal banyak kemewahan yang
dimilikinya, karena kemandiriannya, dan karena keahliannya memanfaatkan
kekurangannya. Aku mencintai gadis itu, tapi aku takut bila dia bertanya
tentang alasan. Aku tak punya satupun alasan konkrit mengapa aku mencintainya.
Cintaku tak beralasan, cintaku murni mengalir dari lantunan ayat ayat al quran
yang aku dengar dari suaranya. Aku mencintainya, aku
mencintainya karena Tuhanku. Tuhanku telah menabur benih ini di dalamnya hatiku,
akupun tak mengerti.”
Arsyiku bergetar, takjub melihat cintanya. Ternyata aku tak
salah mencintai. Walau aku tahu, aku salah telah jatuh cinta pada pria yang
mencintai gadis lain.
“rose, kau tahu? Aku seakan
melihat ibu dipancaran senyumnya. Aku seakan berdampingan dengan ayah saat
merasakaan kemandiriannya, aku seakan berhadapan dengan adikku saat melihat
kelembutan dan kemanjaannya. Aku mencintainya, mencintai dia tanpa batas. Tanpa
batas walau dia sering terjatuh karena kakinya, tanpa batas walau dia tak kuat
menahan berat beban hidupnya. Tanpa alasan, tanpa alasan walaupun dia
kekurangan.”
Aku mulai penasaran “siapa
gadis itu? Kau mencintainya sangat dalam. Biarlah cintamu tanpa alasan, karena
bila kau memiliki alasan, kau akan berhenti mencintainya karena memudarnya
sebuah alasan. Bicaralah padanya, bukan karena alasan, tapi bicaralah padanya
dengan satu alasan. TUHAN”
Lagi lagi Daniel mengubah posisi duduknya, matanya mengunci
penglihatanku, bibirnya belum mengucap tapi telah menunjukan kebenaran. Dia
sedang bersungguh sungguh mengingat seorang gadis yang begitu dicintai. “kau mau tahu siapa orangnya?”
“pasti” Aku
bergetar, entah kedinginan atau karena aku penasaran menanti jawaban dari
cerita Daniel. Aku iri pada gadis itu, yang dicintai begitu suci, begitu indah,
begitu bermakna. Aku kagum pada kelihaian Daniel memilih cinta dan mengartikan
sebuah cinta.
“gadis itu adalah
perempuan yang menelponku tempo dulu, mebicarakan tentang pertemuan untuk menyuruhku
berlaku sebagai narasumber meteorology. Gadis yang membawaku kedepan puluhan
orang hebat untuk menjadi pembicara seminar “meteorology of aviation”. Gadis
yang tidak menyisakan satu lintir mie instan pun disaat aku kelaparan dan
kedinginan, gadis yang membangunkanku disaat aku masih terjaga dalam tidur.
Gadis itu yang ada dihadapanku sekarang. Rose Mahaputri, gadis yang kucintai
sangat dalam.”
Wajahnya tepat berada dalam lingkaran visual ku. Bergetar,
hatiku tergoncangkan. Aku terdiam, aku tak menyangka, aku hanya bisa mengadu
pada Tuhan dan berbicara “Tuhan kau jawab semuanya sesuai waktuku” Aku bahagia
dan …..
“hey, jangan seperti
orang bodoh. Sudah sana tidur lagi. Dan mulai saat ini, Hadirkanlah aku
disetiap periode periode mimpimu. Mulai hari ini hijabkan cintamu, lalu tunggu
aku untuk segera melamarmu dan kita berdua ucapkan janji pernikahan. Karena
dalam cinta tidak ada sebuah persyaratan sesuai yang kau ucapkan tadi bukan? Dan
cintapun bukan sebuah perjanjian. Tapi untuk menghalalkan pasti dibutuhkan
sebuah perjanjian. Ya perjanjian mengikat cinta. Ana Uhibbuki Fillah Rose
Mahaputri”
Aku pun tersenyum dan bangkit dipeluk keindahan cinta.
Berjalan diiringi lagu bahagia, tidur diselimuti angin kedamaian, mimpi yang
dikunjungi pria pujaan. Kini aku mengerti, untuk menanggalkan sebuah kesedihan
tak perlu bersikap memaksa, untuk mencapai kebahagiaan tak perlu bersikap bodoh
dengan berlaku tak mencinta. Bicaralah sejujurnya, karena yang terbaik pasti
akan mendatangi tuannya. Walau kadang Tuannya harus bersusah payah menahan
sakit saat melepaskan cintaya pergi. Namun cinta jualah yang akan hadir dan
menyatukan keduanya.
Apakah Ini Maksud Dari Cinta Diam Diam?
Awal dari pertemuan kita cukup membuatku bahagia. Lengkung
pipimu berisyarat, membentuk cahaya indah yang memancarkan ketenangan. Engkau
bagaikan harum melati ditengah taman, engkau senyawa asetilkolin yang menghatarkan
impuls impuls kasih dalam ragaku. Didekatmu aku tenang ibarat tengah santai di
pelipir telaga. Melihat senyummu, aku terhanyut dalam lantunan melodi
keindahan, segala tentangmu membuat aku ingin terus memberikan sentuhan
perlindungan yang menopang air matamu agar tidak terjatuh. Entahlah semua
tentangmu saat ini.
Namun seketika aku mengingat dia yang selalu memelukku dalam
doa’nya, teringat dia yang mendekap hangat tubuhku saat kami menelusuri
indahnya jalan kota, teringat dia yang mapu menemani dimasa aku terlempar dan
terdustakan oleh dunia, aku terus mengingat dia dengan berbagi tingkah gilanya
untuk sekedar membuat ku tersenyum. Dan aku pun teringat dia yang tanpa sadar
cintanya kini aku duakan.
Cinta ini terjaga direlung hati, hanya Tuhan dan aku yang
tau. Aku punya dia sementara kamu sendiri apakah orang kan tahu bahwa kita
mencinta??? Apakah ini namanya cinta diam diam? Apakah ini yang diartikan
perselingkuhan? Atau ini berarti pengkhianatan? Aku tak tau dan mengerti. Biarlah raga ini jadi miliknya, namun jiwa
dan cintaku hanya untukmu.
Tuhan, Aku tahu, aku adalah seorang lelaki pecundang yang
tak pernah bisa mengambil sebuah keputusan hebat. Rasanya aku malu olehMu, aku
bukan lelaki soleh yang berjalan berdasarkan syariatmu. Rasa cinta ini terlalu
sulit aku pendam sendiri. Aku belum bisa menjadi Ali bin Abu Thalib yang
mencintai Fatimah dengan cinta paling mulia. Cinta yang kau berikan terbelah
menjadi dua keeping yang tak pasti. Untuknya dan untuk dia. Aku hanya bisa
menunggu waktu yang Kau simpan untukku. Waktu dimana aku berhenti bejuang untuk
salah satu dari mereka. Waktu yang mengajarkan aku keberanian untuk berlari
mengejar sesuatu yang jadi kebutuhan dan keutuhanku.
Aku menunggu waktu itu.
Saat Cintaku Tinggal Separuh Hilang Termakan Waktu
Bintang,,
Aku ingin cerita
Dulu saat
aku benar benar terlena di dalam kasihnya, aku punya sedikit ketakutan pasi.
Takut bila Tuhan tak lagi memberikan nikmat cinta padaku untuknya. Takut muncul
perasaan lain saat aku tak benar benar melihatnya setiap waktuku. Takut bila
ada orang yang bukan dia yang menjadi actor utama disetiap episode
kebahagianku. Dan nyatanya itu terjadi saat ini.
Bintang,
tolong dengar laraku
Bagaimana
menurut pendapatmu atas cinta yang kian lama terasa memudar untuknya. Aku
terlalu asik bersosialisasi dengan teman teman seperjuanganku. Sampai aku rasa,
aku tak membutuhkannya lagi. Aku telah terjun bebas kedalam semua tugasku yang
mempersempit waktuku untuk menghubunginya. Aku terlalu banyak berpikiran
negative tentangnya yang membuatku marah dan tak inginkan dia ada lagi.
Bintang,
jangan diam … Bantu aku
Haruskah aku
pergi dari hidupnya? Mampukah aku? Aku telah mati rasa olehnya, lalu ada yang
menghapus air mataku selain dia. Benarkah bahwa perpisahan adalah satu jalan
utama untuk kehidupanku selanjutnya? Benarkah dia bukan orang yang mampu
membuatku tersenyum lagi? Apakah dia yang menyebabkan segala kegelisahan yang
aku rasakan? Kenapa cintaku hilang? Tolong aku mengambil keputusan baik.
Bintang,
redupkan sejenak cahayamu dan tolong jawab pertanyaanku
Kenapa saat
aku ingin melepaskan. Ada sebercak ketakutan lagi. Aku takut saat aku melepaskannya,
malah aku dihampiri segala bayang tentangnya. Aku khawatir, aku akan bosan
dalam kesendirian. Aku tak yakin bila aku dapat tersenyum lagi tanpa ada
telepon ataupun pesan darinya.
Bintang,
bisik padaku. Jangan kau diam dan membatu
Haruskah aku
bertahan? Terkerangkeng dan sesak dalam cintanya. Senyum dalam kebahagian
setengah palsu. Kata cinta yang berasal dari tenggorokan bukan hati lagi. Atau
aku dipaksa rela untuk membiarkannya pergi, lalu aku menangis melihat
langkahnya kian menjauh. Terekam semua kenangan tentangnya, mulai dari
keromantisannya, kehangatan peluknya, kekonyolannya, sampai tingkah lakunya
yang menyebalkan. Mampukah aku????
Kenapa kau
tetap diam Bintang keciku?? Apakah kau pun enggan membisikan padaku tentang
pilihan yang memberiku ketenangan??
Tolong aku
……….
Langganan:
Postingan (Atom)