Minggu, 27 Januari 2013

Menelusuri kehidupan "Nasi Sisa"

Langit yang masih hitam membawaku berlari pontang panting menyelamatkan buku buku yang kian hari kian lusuh di sorot matahari.
tak pernah ada yang dengan setia menemaniku berjalan menelusuri keramaian kota dan pahitnya debu. Semuanya terasa biasa karena semenjak umur 12 tahun yang lalu, saat aku ditinggalkan ibu, aku tak punya lagi sesosok manusia yang dapat mengulurkan tangannya walau sekedar menolongku saat aku hampir terpeleset karena alas kaki yang terus menipis.
sampai saat ini kata kata yang terlontar terakhir kali dari orang yang kusayangi  masih setia menemani perjalanan nafasku.
"Dina, maaf ibu harus pergi tanpa membawamu. Suami ibu tak rela bila kau terus membuntuti, jadi diamlah dirumah ini atau bila perlu kau cari kerja, asal kau jangan bermain di dunia malam seperti yang ibu lakukan" kalimat itu tak pernah pudar padahal saat ini aku telah berusia 21 tahun.iya, ibu telah meninggalkan aku di usia yang masih dini sampai aku kadang tak paham masalah agama.Ditambah aku baru mengerti bahwa aku adalah anak yang tak diingikan oleh ibu.

Pantas saja dalam akta kelahiran nama ayah ditulis dengan nama kakek. Aku pikir nama mereka sama, aku sempat berpikir bahwa kakek merestui ibu dengan ayah karena nama mereka sama. Ah tapi ternyata memang itu nama kakek, karena tak ada yang ingin bertanggung jawab atas kelahiranku.
Di gemerlapnya kota Jakarta aku terus mencari nafas, ya walau sekedar bernafaspun sepertinya hidupku memang dibuat sulit. Mungkin Tuhan sedang berbahagia diatas sana, semoga saja Dia menambahkan senyumnya karena aku dapat melewati rintangan ini.
Aku terus menyeret kaki yang hampir koyak ini, karena setiap hari aku berjalan layaknya angkutan umum yang tidak ada kata berhenti. Pagi pagi sudah disibukan berjalan dari rumah ke kampus, siangnya harus melangkahkan kaki lagi dari kampus ke kantor, dan malamnya harus tetap setia berjalan dari kantor ke rumah, tapi lebih sering mengarahkan badan untuk berkunjung ke warung nasi. Andai saja ada seorang makhluk yang di ciptakan Tuhan untuk menelan kesendirianku.
Ya walau jelek kaya gini, aku seorang mahasiswi di sebuah universitas. Walau hidupku susah sekarang, aku tak mau berlama lama hidup dalam kemiskinan apalagi nanti bersama anakku. Semoga kesulitan ini di stopkan oleh Tuhan sebagai pelajaran saja untukku. tapi pelajaran ini begitu sulit aku lewati sendiri, berharap ada yang setia menopangku saat aku letih setelah mengepel lantai di kantor. Tapi aku belum menemukan dia, mungkin Tuhan telah siapkan seorang pria yang menemukanku saat aku telah bergelar S1, mungkin.

"din, kantin yuk" suara evi bergelegar memecahkan keangkuhanku saat menyendiri, "kantin? mau beli apa? aku bawa makanan soalnya" berusaha menghindar karena makanan yang aku bawa sekarang bekas makan siang karyawan dan para bos saat rapat kemarin. Enak sih, tapi yang namanya makanan bekas ya sudah pasti tercampur campur. jadi aku malu hendak makan bersama mereka Evi "udah ga apa apa, masa di kelas terus, ga bosen?" ya akhirnya dengan malu malu aku berjalan bersama Evi ke kantin yang terkenal dengan masakan aduhainya. 

Tiba saatnya aku mengeluarkan makananku, evi dengan setia menungguku membuka isi besek yang aku bawa. Padahal aku sendiri bimbang, tapi keadaan perut meyakinkanku untuk segera membuka besek yang aku bawa. "waaaw, ternyata selama ini kamu membawa masakan seenak itu? banyak sekali lauknya, aku boleh minta" evi histeris yang membuatku bingung. 
"tapiiii kayanya makanan kamu lebih enak. makanan aku kan udah kecampur gini" "ah itu biasa namanya juga dibungkus pasti kan kecampur" evi masih saja histeris.Kita berdua akhirnya makan bersama dan ini kali pertama aku makan di kantin kampus bersama seorang yang sepertinya lugu. 
"Din, aku boleh nyicipin gak?" "silahkan" evi dengan lahap menyambar suap demi suap lauk yang aku bawa. Tuhan dosakah aku tidak memberi taukan evi kalau nasi itu nasi campuran bekas orang. Maafakan aku Tuhan, maafkan aku Evi ....

Ditengan jalan, aku mulai merasakan letih yang luar biasa. haus dan lapar menjadi satu. tapi aku tak punya sepeser uang pun untuk membeli es batu. ya es batulah yang murah meriah. dingin, murah dan besar pula. terus berjalan aku bertemu kakek tua yang memegang perutnya sambil mengernyitkan dahi. Aku pikir dia membutuhkan kamar mandi untuk berlindung, tapi setelah aku berjalan didepannya, aku baru sadar ternyata dia kelaparan. Aku tak bisa memberikan apa apa, cuma ada sekotak nasi sisaan makan siang tadi bersama evi. Aku memang membawa makanan cukup banyak dari sisaan beberapa porsi. apa aku harus memberikan nasi ku pada kakek itu, nasi sisaan ku? nasi sisaan para bosku? bagaimana kalo kakek itu memakannya disini dan sisanya dia bawa pulang utuk anak anaknya. lalu anak anaknya memakan nasi sisaan dari bebrapa orang? Tuhan aku bimbang, aku takut Tuhan
Semakin lama kakek semakin merengek, aku tak kuasa mendengarnya. dan aku putuskan untuk berlari sekuat tenaga mendekati warung nasi padang. Aku pesan dua porsi jumbo dengan lauk ayam bakar dan cumi goreng, setelah makanan ditangan aku pun lari sekuat tenaga meninggalkan rumah padang dengan teriakan sang uni yang kesal karena aku tak membayar makannya. lantas dengan senyum yang tidak menambahkan kecantikanku, aku memberikan sekantong plastik berisikan nasi yang baru. "silahkan dimakan kek, seraya aku meninggalkan kakek dan tengok kiri kanan merasa tak aman. "Tuhan, biarlah aku yang menanggung dosa ini asalkan nasi ini halal adanya untuk kakek itu, amiin" 
Dan aku pergi ke kantor untuk kembali bekerja membersihkan debu debu dan kotoran juga melayani karyawan untuk mengambilkan secangkir kopi atau es teh di siang yang terik ini."Uni, suatu hari nanti aku akan membayar dua porsi tadi yaaaa. Doakan aku mempunyai banyak uang. Terima kasih Uniiii"


*bersambung*NN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar