Rabu, 14 Agustus 2013

Cinta Bukan Sebuah Perjanjian


“Kuyup, hujan hari ini sungguh dashyat. Rasanya sendi sendi tulangku sudah tidak kuat lagi. Dingin” Aku mencoba menghangatkan tubuh disamping kompor yang sedang bertugas memasak mie instan. Terjerembab dan tak tau arah pulang di tengah desa orang memang memusingkan. Untungnya ada bilik yang bisa disewa satu hari saja. Walau ketakutan angin kencang ini menghempaskan bilik dan membawanya lari.

“sudahlah jangan kau paksakan tubuhmu untuk tetap berada disitu, segera kekamar dan gunakan selimut. Biar aku yang menghantarkan mie nya nanti” Tangannya mendekap hangat pundakku dan menyeretku perlahan keluar dapur. Rasanya sentuhan itu lah yang mengahangatkan lagi seluruh tulang belulangku.

“Tenanglah, aku sudah membaik. Aku bisa memasakan mie untuk kita berdua. Kau duduk saja sana,”

“tubuhmu sudah menggigil, kau mau mati kedinginan? Kalau kau mau mati sekarang, biarlah aku pergi dulu menjauh dari bilik ini. Aku tidak mau menjadi satu satunya saksi kematianmu. Sudah sana masuk kamar dan berbaring” Melepaskan pelukannya dan seketika angin menghujat kencang memasuki pori poriku.

“baiklah, tolong antarkan mie nya. Aku lapar”  aku hanya bisa diam merelakan pelukan itu pergi. Padahal, kehangatan itu aku dapatkan dari pelukan kasihnya, bukan dari selembar selimut yang aku tak tau itu milik siapa.

“cepat masuk, aku tak mau kau semakin pucat karena angin yang semakin kencang”  Aku masuk kamar dan meninggalkan dia yang sibuk mengaduk mie instan yang tinggal sebungkus lagi. Dia memang benar benar tak ingin bersamaku. Sampai untuk membuat mie berdua saja dia tak mau. Dia tak mecintaiku.
                                                                                                ******


“Rose, apakah kau sudah tidur? Makanlah sebentar” Aku keluar kamar, padahal sejak tadi aku menunggunya mengetuk pintu.
Aku kelaparan, satu mangkuk penuh aku habiskan sendiri tanpa memberi kesempatan Daniel untuk mencobanya.

“dasar rakus, kau tidak mengingatku?” aku tersadar dan,, yaampun tinggal air mie yang menguning saja yang ada dalam mangkuk. Bodoh sekali.

“sudah sini sini, kau jangan minum air ini. Ini jatahku. Ambil air putih di atas meja sana. Minumlah secukupnya dan lekas tidur” secara spontan Daniel menguyup air mie instan itu. Kasihan dia.
                                                                                                ******


“aku ga bisa tidur, Daniel” menghampirinya dan memegang tangannya, sepertinya dia tertidur pulas. Padahal dia tidur beralaskan tikar tipis. Entahlah aku sangat mencintai pria ini. Pria yang kadang membuatku kelimpungan menahan rindu gegara tak ada kabar. Pria yang sering membuatku menangis dalam doa karena terlalu berat menahan rasa cinta yang hanya aku tahu sendiri. Pria yang membuatku bahagia dengan keistimewaan sifatnya. Entalah, pria ini yang membuka etalase hatiku untuk menyambut cinta. Ya pria yang tidak pernah memahami kode kode yang aku tawarkan.

Matanya terbuka ‘’sedang apa kau disini? Ini sudah malam dan hujan.”

“biarlah, aku sudah tidak mengantuk”

“kau pikir, kau saja yang butuh tidur? Aku ngantuk”

Selalu begitu, dia selalu membantingkan nyaliku. Padahal ini waktu yang tepat, saat aku dan dia hanya berdua. Aku sudah tidak tahan menghadapi cinta sendirian. Aku ingin membagi perasaanku. Setidaknya dia tau apa yang aku rasakan. Walau nanti, jawabannya mungkin saja akan membuatku lebih tersakiti.

“baiklahhh, aku akan tidur dan tidak akan mengganggumu lagi. Tapi kau harus dengar dulu.”
“dengar apa?”

“Cepatlah berdiri, dan tengok keluar jendela. Kau akan menemukan banyak air yang jatuh. Hitunglah….”

“dasar bodoh, mana mungkin aku bisa menghitungnya, air hujan turun sangat cepat. Berapa liter air yang tergenangpun belum tentu aku yakin. Cepat kau mau bilang apa?”

“oleh karena itu dengarkan aku dulu. Lihat air yang jatuh itu. Sebanyak itulah aku menyayangimu”

“kau ini, kau mimpi?” tubuhku digoyahnya

“aku tidak mimpi, aku sadar dan aku bersungguh sungguh. Sekian lama aku mencari waktu yang tepat. Sekian lama dari awal pertemuan kita, dari mulanya hanya sebagai wartawan dan pembicara, yang awalnya hanya bertukar informasi sekilas dunia meteorology. Tapi sekarang aku menyimpan beribu partikel partikel cinta untukmu. Kau paham?’’

Dia menatap erat mataku. Dalam, sungguh dalam.

“maafkan aku, tapi aku telah menjatuhkan hati pada seorang gadis yang menghubungiku tempo hari”

Lesu, aku menjadi beku saat ini. Kalimatnya barusan merengek untuk memintaku pergi mendatangi mesin waktu, dan harusnya tadi aku tidak menghampirinya.

“janganlah tertunduk, maafkan aku. Mungkin kini saatnya aku terbuka, membiarkan seorang sahabat terbaikku mengetahui yang sesungguhnya. Maukah kau mendengarkan ceritaku tentang gadis itu? Gadis yang membuatku tenggelam dalam lautan rindu”

Kalimat itu,, aku hanyalah seorang sahabat bagi hidupnya. Seketika aku mulai kuat, aku tak boleh egois dengan rasa ini, rasa yang kadang mengecamku untuk tertunduk bahagia karena kehadirannya. Rasa yang tiba tiba dapat membunuhku karena kelimpungan menahan rindu yang bertumpuk. Rasa yang tak mengerti ada jarak ratusan kilo yang tertampang panjang memisahkan aku dengannya. Rasa yang datang tanpa ku undang, dan tak mau pergi saat aku mencoba melepasnya. Aku mencintainya dengan caraku sendiri. Dalam posisiku yang beku ini, ternyata aku sulit menemukan bahagia.

“pasti, bukankah cinta itu tanpa syarat? Aku mencintaimu,,, tanpa syarat kau pun harus mencintaiku. Benarkan?? Bila memang iya, itu namanya perjanjian, dan cinta bukan sebuah perjanjian. Bicaralah, aku akan dengarkan ceritamu sebagai sosok sahabat terbaikmu. Karena aku yakin, cinta seorang sahabatlah yang murni, yang tak meminta balasan cinta dari orang yang dia kasihi.”

Kalimat tadi terlontar begitu saja, semoga hatiku dengan mudah merasakan kelapangan. Semoga cinta itu dapat mengantarkan tuannya menuju kebahagiaan. Karena untuk mencapai bahagia bukan saat dicintai oleh orang yang aku cintai. Tapi saat merelakan dia mencintai cinta yang semestinya. Aku tegar. Mataku berbinar menanti kalimat apa yang dia perdengarkan lagi.

“kau ini, apakah kau sanggup ? kau sanggup mendengar cerita dari orang yang menyakitimu?’’

Daniel merubah posisi duduknya, sepertinya dia pun merasakan ketegangan. Matanya yang semula masih sulit di bentangkan kini terbuka dan terpaku melihat sosokku.

“siapa yang menyakitiku? Bukankah kebahagiaan itu hadir saat keduanya dapat memberikan kenyamanan? Bukankah kebahagiaan itu terdapat saat kita bisa saling menguatkan tanpa harus memiliki? Jadilah dirimu sendiri dan pilihlah cintamu. Bila kau memilih aku, itu bukan namanya cinta, tapi kemunafikan. Cepatlah, aku sudah tak sabar mendengar dan mengetahui siapa gadis itu.”

“Bila kau memaksa, aku akan ceritakan semua. Aku mencintai seorang gadis. Aku mencintai gadis itu karena kesederhanaannya, karena hijabnya, karena kepintarannya, karena pesona lembutnya, karena dia yang tak memilih istimewa padahal banyak kemewahan yang dimilikinya, karena kemandiriannya, dan karena keahliannya memanfaatkan kekurangannya. Aku mencintai gadis itu, tapi aku takut bila dia bertanya tentang alasan. Aku tak punya satupun alasan konkrit mengapa aku mencintainya. Cintaku tak beralasan, cintaku murni mengalir dari lantunan ayat ayat al quran yang aku dengar dari suaranya. Aku mencintainya, aku mencintainya karena Tuhanku. Tuhanku telah menabur benih ini di dalamnya hatiku, akupun tak mengerti.”

Arsyiku bergetar, takjub melihat cintanya. Ternyata aku tak salah mencintai. Walau aku tahu, aku salah telah jatuh cinta pada pria yang mencintai gadis lain.

“rose, kau tahu? Aku seakan melihat ibu dipancaran senyumnya. Aku seakan berdampingan dengan ayah saat merasakaan kemandiriannya, aku seakan berhadapan dengan adikku saat melihat kelembutan dan kemanjaannya. Aku mencintainya, mencintai dia tanpa batas. Tanpa batas walau dia sering terjatuh karena kakinya, tanpa batas walau dia tak kuat menahan berat beban hidupnya. Tanpa alasan, tanpa alasan walaupun dia kekurangan.”

Aku mulai penasaran “siapa gadis itu? Kau mencintainya sangat dalam. Biarlah cintamu tanpa alasan, karena bila kau memiliki alasan, kau akan berhenti mencintainya karena memudarnya sebuah alasan. Bicaralah padanya, bukan karena alasan, tapi bicaralah padanya dengan satu alasan. TUHAN”

Lagi lagi Daniel mengubah posisi duduknya, matanya mengunci penglihatanku, bibirnya belum mengucap tapi telah menunjukan kebenaran. Dia sedang bersungguh sungguh mengingat seorang gadis yang begitu dicintai. “kau mau tahu siapa orangnya?”

“pasti” Aku bergetar, entah kedinginan atau karena aku penasaran menanti jawaban dari cerita Daniel. Aku iri pada gadis itu, yang dicintai begitu suci, begitu indah, begitu bermakna. Aku kagum pada kelihaian Daniel memilih cinta dan mengartikan sebuah cinta.

“gadis itu adalah perempuan yang menelponku tempo dulu, mebicarakan tentang pertemuan untuk menyuruhku berlaku sebagai narasumber meteorology. Gadis yang membawaku kedepan puluhan orang hebat untuk menjadi pembicara seminar “meteorology of aviation”. Gadis yang tidak menyisakan satu lintir mie instan pun disaat aku kelaparan dan kedinginan, gadis yang membangunkanku disaat aku masih terjaga dalam tidur. Gadis itu yang ada dihadapanku sekarang. Rose Mahaputri, gadis yang kucintai sangat dalam.”

Wajahnya tepat berada dalam lingkaran visual ku. Bergetar, hatiku tergoncangkan. Aku terdiam, aku tak menyangka, aku hanya bisa mengadu pada Tuhan dan berbicara “Tuhan kau jawab semuanya sesuai waktuku” Aku bahagia dan …..

“hey, jangan seperti orang bodoh. Sudah sana tidur lagi. Dan mulai saat ini, Hadirkanlah aku disetiap periode periode mimpimu. Mulai hari ini hijabkan cintamu, lalu tunggu aku untuk segera melamarmu dan kita berdua ucapkan janji pernikahan. Karena dalam cinta tidak ada sebuah persyaratan sesuai yang kau ucapkan tadi bukan? Dan cintapun bukan sebuah perjanjian. Tapi untuk menghalalkan pasti dibutuhkan sebuah perjanjian. Ya perjanjian mengikat cinta. Ana Uhibbuki Fillah Rose Mahaputri”

Aku pun tersenyum dan bangkit dipeluk keindahan cinta. Berjalan diiringi lagu bahagia, tidur diselimuti angin kedamaian, mimpi yang dikunjungi pria pujaan. Kini aku mengerti, untuk menanggalkan sebuah kesedihan tak perlu bersikap memaksa, untuk mencapai kebahagiaan tak perlu bersikap bodoh dengan berlaku tak mencinta. Bicaralah sejujurnya, karena yang terbaik pasti akan mendatangi tuannya. Walau kadang Tuannya harus bersusah payah menahan sakit saat melepaskan cintaya pergi. Namun cinta jualah yang akan hadir dan menyatukan keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar