Rabu, 20 Juli 2011

Aku Ingin Pulang

Namaku Adi, panggil saja begitu. Aku yatim piatu. Dulu, almarhum nenekku bilang, orangtuaku meninggal, karena kecelakaan, saat aku masih berumur hitungan bulan.
Ijazah SMP ditanganku bergetar,terhempas, saat aku lunglai mendapati nenek tidak lagi bernafas di amben bambu di depan rumah, tempat dia biasa menyambutku pulang. Aku tak lagi punya sesiapa.
40 hari kemudian, aku mengelus nisan nenek, pamit. Bersembunyi di dalam toilet kereta ekonomi, aku pergi ke Jakarta, walau aku tak tahu akan kemana dan menjadi apa, hanya dengan satu tekad, sebuah harap.
Sesampainya di Stasiun Jatinegara, aku menggelandang di Pasar Mester. Menadahkan tangan hanya sekedar untuk makan, hingga suatu ketika, Koh Ahong, pemilik toko kopi tempat biasa aku tidur di emperannya kala malam menjelang, tiba-tiba berkata, sambil mengunci tokonya,
Owe dulu susah, yatim, tapi Owe, tidak pelnah jadi peminta-minta. Selama Owe punya tenaga, Owe kelja dan belajal. Belajal tidak musti duduk di bangku sekolah. Tidak musti di bangku sekolah”
Koh Ahong berlalu, tangannya mengusap kepalaku, seketika aku terkenang nenek. Pesan yang hampir serupa, pernah nenek ucapkan. Aku tergugu. Esok harinya, aku mengajukan diri untuk menjadi anak buah di toko Koh Ahong, dia mengiyakan.
Minggu ke minggu, bulan berganti tahun, aku bekerja padanya. Gajiku ditahannya, aku hanya diberinya uang sekedar untuk makan. Suatu sore, di tahun kelima aku bekerja padanya, Koh Ahong bilang,
“Di, besok lu ikut ujian pelsamaan. Ini alamatnya, ini bawa bukti pendaftalannya”
Aku tercenung. Sejak aku bekerja padanya, aku tidak lagi tidur di emperan toko. Koh Ahong menyuruhku tidur di dalam tokonya, hanya dengan sarat, banyak-banyaklah kau membaca. Buku adalah jendela masa depan, bila kau yakin dan percaya. Itu sebabnya Koh Ahong, selalu membawakan aku aneka buku, dari buku pelajaran bekas anaknya hingga buku-buku aneka pengetahuan.
Aku mengikuti ujian dan lulus dengan nilai yang lumayan. Ijazahku bergetar, aku tersedu saat Koh Ahong mengucapkan selamat dan memberikan sebuah buku tabungan hasil gajiku selama ini yang tak pernah dia berikan.
Owe tahu kau anak baik Di, itu sebabnya Owe tidak mau lu jadi tukang minta-minta. Ini uang lu selama kelja sama Owe, gunakan dengan bijak”
Uang itu kugunakan untuk kuliah. Sambil kuliah aku bekerja di sebuah perusahaan. Koh Ahong bilang, anak sekolahan tidak pantas jadi kuli toko tapi kerja di belakang meja, dengan pakaian rapi dan berdasi. Koh Ahong tidak membolehkan aku, bekerja dan tidur di tokonya lagi. Sesekali aku datang menjenguknya.
Di siang yang terik, aku berjalan terburu di keramaian pasar. Lengkap dengan toga aku menyeruak menuju toko, berita gembira aku alamatkan untuk Koh Ahong, aku sarjana. Aku tergugu, toko kopi itu tutup. Mereka bilang, pagi tadi, Koh Ahong berpulang.
Setiap hari Raya, aku tak pernah pulang ke desa. Aku tak punya siapapun di sana. Dulu di sini, aku punya Koh Ahong. Aku menganggapnya sudah seperti orangtua yang tak sempat aku rasa. Ketika Koh Ahong juga pergi, aku kembali sendiri. Dan hari Raya, bagiku, tidak ada beda.
Hari ini, hari terakhir aku kerja, sebelum esok libur, jelang hari Raya. Jam 4 sore, kantor mulai lengang, satu persatu teman, saling mengucap pamit. Ada yang sudah cuti sejak beberapa hari lalu, untuk mudik ke kampung halaman.
“Di, saya pulang duluan ya? Mau langsung ke Gambir” Sigit melongok ke kubikel ku dan menyodorkan salam perpisahan, aku mengulurkan tangan.
“Hati-hati Mas, salam buat keluarga, jangan lupa baliknya bawa bakpia, hehehe”
“Iya, kalau masih ada sisa, hahaha” Sigit tertawa sambil berlalu dan melambaikan tangan.
“Maafkan saya kalau punya salah ya Pak” Aku menjabat tangan Pak Bejo, satpam kantor kami. Hari Raya kali ini, dia mendapat giliran jaga, hari Raya yang lalu, dia dapat jatah libur dan bisa pulang kampung.
“Pulang kampung kan Mas Adi?”
Aku hanya tersenyum. Dia menepuk punggungku dan aku bergegas keluar gerbang, tuju pulang. Matahari makin jatuh, sinarnya yang keemasan menerangi rel-rel yang centang perenang di Stasiun Jatinegara.
Ratusan orang memenuhi peron dengan segala macam bawaan, riuh. Aku sapukan pandangan ke wajah-wajah mereka yang tak sabar untuk segera bertemu dengan keluarga dan kerabat yang mereka cintai.
Sesaat kemudian, kereta ekonomi masuk di jalur satu. Ratusan penumpang yang sebelumnya menghampar di peron, bangkit dan bergegas menyerbu semua pintu. Berjejal, berdesak, saling dorong, bahkan hingga bergelantungan, semua kukuh pada satu tujuan, pulang.
Pemandangan yang kontras dari kereta eksekutif yang berhenti sebelumnya, ah ya, tentu saja, setiap pelayanan ada harga. Aku termangu, menatap mereka yang terus berhimpitan, memenuhi setiap celah gerbong yang ada, hingga satu peluit panjang, nyaring terdengar, memecut naga besi, terengah maju dan terus menderu.
Aku heran mengapa mereka memaksakan diri untuk pulang, berjejal, mempertaruhkan harta, raga terkadang nyawa.
“Kau tidak merasakan sih, Di. Hari Raya di kampung lebih.. lebih.. apa ya namanya, lebih enaklah, pokoknya” Ucap Haryo, saat seminggu lalu kulontarkan keherananku melihat orang-orang sibuk dan berbondong-bondong hendak mudik.
“Makanya kawin, biar lu punya kampung dan ngerasain mudik” Celetuk Bambang sambil nyengir.
“Biar baliknya bisa bawain lu oleh-oleh dari kampung, Di” Timpal Haris.
“Kumpul dengan keluarga, kerabat dan tetangga tempat kita dulu dilahirkan, menghabiskan masa kecil dan merasakan suasana Hari Raya seperti saat kita rasakan dulu, akan terasa lebih bermakna dibanding ber Hari Raya di perantauan, Di” Pak Agus menimpali dengan bijak.
“Kita merasa punya rumah, tempat untuk pulang. Bukan hanya raga tapi juga jiwanya. Bukankah pulang selalu terasa menyenangkan” Pak Agus, manager kami, melanjutkan, aku terdiam.
Senja semakin luruh, samar-samar adzan maghrib terdengar, ada sesak yang hinggap, tiba-tiba aku pun ingin pulang.
***
Cerita ini hanya fiksi, maaf bila ada kesamaan nama & tempat.
Sengaja disebut Hari Raya, karena banyak Hari Raya untuk masing-masing agama, semoga makna mudiknya sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar