Rabu, 20 Juli 2011

Yang Lalu

Senja yang sayu dibalik lipatan kabut, suasana alam yang penuh canda walaupaun matahari belum sepenuhnya menghilang. Air yang mengalir menapaki sungai menganak ke seluruh penjuru negeri. Titik air yang jatuh mejadi pesona hari bagaikan panah yang menghujam ke perut bumi. Menawarkan aroma tanah yang cukup semerbak. Seketika terdengar kicauan burng yang memanggil dewi malam untuk segera bangun dari singgasananya.

Duduk terdiam melihat awan yang bergerak lambat, terpaku paku atas kejadian demi kejadian.
Melihat pancaran kaca yang begitu bersinar, seolah membuat tangan ini merasa gatal untuk cepat memegangnya.
Saat kaca itu berada tepat di fokus mata.
Aku melihatnya tajam. Yang ada dihadapan diri adalah diri.
Tiba tiba timbul pertanyaan besar “sudah jadi apa aku ?” Siapa yang sudah aku banggakan? Dan siapa yang telah aku kecewakan ?
Menghilangnya amnesia ku membuat satu persatu tragedi yang pernah aku alami berkumpul menjadi bongkahan besar dalam otak.
 “Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan padamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan pada negara?” mengingat kutipan dari Presiden Soekarno dimasa nya. Membuatku semakin terbata dalam menyatukan tragedi demi tragedi pada ranahnya.
Aku seakan mandul kata kata, dan aku seakan tiada pada masaku.

Kini aku berdiri kokoh, setelah aku lewati berbagai rintangan kehidupan. Dimasa kerjaku pertama memang sulit aku merasakan kebahagiaan.
Pertama kebahagian yang pernah aku rasakan disaat masih dalam pangkuan ayah dan bunda.
Kedua kebahagiaan saat aku merengek meminta rupiah pada mereka. Dan tanpa pikir panjang mereka mengeluarkan dompet, setelah dilihat “oh menakjubkan hanya tiga ribu rupiah saja” aku tak pernah peduli berapa lembarkah yang ada didalam dompet tersebut. Yang kubutuhkan hanya uang yang bisa membuatku bahagia berjajajan ria bersama teman teman.
Keempat kebahagian yang memuncak bersama teman teman. Kebersamaan yang seolah tiada batas membuatku  rindu akan ranah itu.
Aku akan sedikit menjelaskan bagaimana indahnya menjalani hidup bersama mereka.
Mengarungi kehidupan dari jendela kebersamaan, membuat lembaran lembaran putih walaupun putih tak selamanya putih dan pasti ada setitik hitam yang menjadi catatan hati. Bersama teman aku belajar untuk sakit hati, belajar untuk cemburu buta, mengerti akan air mata, mengerti akan canda dan tawa. Walau teman tak selamanya baik,, tapi teman tidak mengajarkan ku untuk putus asa.
Saat itu aku adalah murid baru. Seosok muda yang masih rapuh dan akan terjatuh oleh waktu. Tapi aku terus bangkit walau aku sendiri. Pada masa itu MOS adalah satu musuh besar untuk mencapai gelar SISWA {dalam hal ini siswa SMAN I Lebakwangi}. Harus berangkat pagi, dan menggunakan bermacam macam peralatan yang menurutku itu gila.  Bagaimana tidak hal yang tidak wajar menjadi wajar disini. Aku gunakan talirapia untuk mengikat sepatuku, aku pakai sumbu kompor dan itu melingkar dalam pinggang ku, Topi dari bola disertai rawis rawis dari tali rapia menjadi mahkota di kepalaku. Bulu ketek yang rimbun melekat di ketiak ku. Sungguh diluar dugaan itu semua. Tapai har demi hari aku mulai nyaman, walau kadang merasa benci pada yang namanya SENIOR. Mereka so berkuasa dalam sekolah, memarahi walau aku tak patut dimarahi, menertawaiku padahal aku tidak lucu sedikit pun, membentakku seolah mereka yang paling benar.
Yah bagaimana,, semboyan mereka adalah
-          Senior selalu benar dan junior selalu salah
-          Apabila senior salah lihat semboyan pertama.
Yah,, itulah yang membuat aku dan teman teman baru semakin terpuruk.
Satu minggu telah terlewati dengan hal hal konyol yang diperintahkan oleh Senior. Namun sewaktu aku tersadar MOS lah yang menyatukan pribadi yang awal tak kenal kini menyatu atas nama TEMAN.
Aku dan teman teman satu kelas menjalani hari dengan mematuhi kurikulum. Tapi saat dua semester terlampaui aku harus terpisahkan oleh teman sejawatku dalam satu kelas itu. Dan bersosialisasi dengan orang orang baru, walau memang kita masih satu sekolah. Yah itulah sekolah mengajarkan kita tentang adaptasi, agar  kita mengerti bahwa kita adalah mahkluk sosial yang tidak akan hidup tanpa manusia lain.
Ku jalani hari bersama teman baru, dan sosialisasi pun berjalan dengan mudah. Jurusan memang berbeda tapi kita tetap satu yaitu SISWA.
Inilah hidup, kadang dibawah kadang diatas. Memang saat kelas X kita hanyalah sosok kecil yang baru memulai perjalanan. Namun kita tak akan bisa menyangkal bahwa kelas XI adalah masa kita. Masa dimana punggung kita menjadi tumpuan tanggung jawab. Masa dimana kita sebagai senior, dimana aku dan teman teman adalah rajanya sekolah dan memegang teguh semboyan kedisiplinan saat MOS. Masa saat kamu menjadi ketua, bendahara, sekertaris, dan seksi bidang pada seluruh kegiatan. Masa yang indah.
Namun masa itu halnya seperti angin yang berhembus kencang. Dapat dirasakn, sejuk namun tidak bertahan lama. Kini aku beranjak pada kelas tertua dalam sekolah. Menjadi siswa yang paling tua dan harus merelakan jabatan jabatan yang di rangkul. Dan dihadapi dengan permasalah cukup sulit dan rumit.
UJIAN NASIONAL itulah hantu yang sedang membayangi pada diriku dan seluruh raga teman teman. Ibu bapa guru mulai memasuki ranah sensitif.
Kadang pernah ku bertanya “apakah salah kita berada di sekolah sampai jam lima sore? Karena sewaktu aku kelas XI aku masih menjabani sekolah sampai jam dua belas malam sekalipun” entah apa yang terpikir kan oleh ku saat itu.
Aku pun tak akan pernah lupa dengan canda tawa yang jadi penghias dalam kelas, coretan demi coretan diatas kursi dan meja, gambar yang tertuang di dinding kelas. Semua takkan rela aku menghapus nya dalam ingatan.
Menyelesaikan tugas bersama, membawa misting yang berisikan nasi untuk jadi bekal disaat pemantapan UN. Semua itu membuatku bahagia dan risau.
Hal yang terindah adalah saat mendokumentasikan semua kegiatan kita dalam kelas. Aku pun kadang menitikan air mata karenanya.
Setelah masa UN berlangsung aku bukan bahagia melainkan aku menyendiri, meratapi nasib. Detik yang akan berlangsung takkan kubuang untuk menyakitkan temanku.
Satu hari, satu minggu hingga satu bulan kulewati bersama sambil menunggu perpisahan dan pelulusan. Bahagia sekali namun setelah keduanya terlewati. Aku hanya “melongo” bingung. Sekarang aku harus pergi. Pergi meninggalkan teman teman, pergi meninggalkan ibu bapa guru dan pergi meninggalkan cintaku.
Tak kusadari air mata mengalir begitu deras saat ku untai kata demi kata. Ya inilah hidup. Kepergian adalah kepastian. Walaupun kadang menyisakan air mata, menaruhkan duka.
Indahnya masa itu. INDAH sekali.
Kini kita berdiri tegak pada kokohnya pendirian. Menanam bibit kesuksesan didaerah persinggahan kita masing masing. Bertemu banyak orang dan sedikit demi sedikit melupakan masa lalu yang begitu indah. Namun hendaknya kita tak boleh lupa atas apa yang pernah kita enyam bersama teman teman dimasa sekolah lalu. Yang pernah kita rasakn bersama canda dalam resah, senyuman dalam tangisan, tawa saat derita, dan sabar saat emosi.
Inilah ,, ya inilah proses pendewasaan. Sakit rasanya pabila dilupakan. Kawan, baik baiklah disana. Kita akan berkumpul saat kita telah mencapai kesuksesan entah hari ini, esok, lusa, atapun tahun tahun menyambut kita dengan kebahagiaan.
Kini saatnya kita menatap kacamata kita masing masing. Kini waktunya langkah kita yang mengukir nasib kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar