Minggu, 17 Juli 2011

Sepucuk Surat Untuk Sahabat

Aku telusuri langkah senja yang memerah, mengintip sang dewi dalam cahaya, menatap lipatan kabut yang membuana seakan jadi pelopor untuk segera memanggil sang dewi tidur.

Kini keangkuhan siang mulai patah digantikan kedamaian malam. Cahaya energy yang memancarkan sinar diubah menjadi cahaya listrik disetiap penghuni alam.

Ya inilah Sepi yang memakan siang dan bertaburan bintang segera melumpuhkan gemerlap rupiah yang tersebar

“Malam sobat”



Ia rangkul aku dengan sepenuh rasa sayang. Tangan menyergap tubuh diantara langit dan bumi cukup membuat jantung terdetak terpaku. Kami menikmati alam yang indah dengan taburan sang pecinta malam.

“Aku sayang kamu”

Posisi tubuhnya seketika berputar 90 derajat menghadap raga ku yang kaku. Ia hanya terdiam. Kini gerak tangannya seakan menjelma, bersuara tanpa pamrih, meraung dan segera merucut pada tanganku. Ia memegang tangan ku tanpa ragu dan menaruhnya pada dada yang kian lama kurasa detak jantungnya.

“Apa yang kau lakukan ?”

Tiba saatnya untuk ku berdelik tentang apa yang ia perbuat. Aku merasakan getaran yang berbeda, pandangan matanya menembus kornea tanpa ada batas penghalang bahwa aku dan ia bukanlah seorang mukhrim.

“Apakah kau belum mengerti tentang apa yang berdetak dalam tubuhku”

Pandangannya semakin liar terhadap mataku. Saat aku terjatuh pada hati yang berongga kurasakan rayapan lembut dekat telingaku. Namun aku terdiam tubuhku kini semakin erat ia genggam. Aku masih saja terpaku oleh endapan pada bola matanya.

“Aku sayang kamu sebagai cintaku bukan sebatas sahabat. Pantaskah aku tuk memujamu sebagai kasihku ? Izinkanlah aku. Izinkan aku terus seperti ini merasakan kehangatan angin malam bersama mu”

Kata kata itu semakin menyadarkanku bahwa seorang sahabat tak pantas merayapi tubuhku seliar ini. Aku kini mencoba menghindar walaupun aku bahagia dalam dekapannya. Ku tempelkan jari jari manisku pada jantungnya yang dibalut rongga dan diselimuti daging yang menempel pada kulit. Ku lawan sedikit tenaganya dan aku pun terlepas dari tubuhnya yang melemas

“Aku pun sayang kamu”

Terlihat pancaran matahari di kedua bola matanya. Ia tersenyum haru namun dalam benaknya kurasa penuh tanda tanya.

“Sobat aku sayang hanya sebatas aku dan kamu adalah sahabat sejati. Tidak lebih”

Kulihat mata yang kian mendung, menahan gejolak air yang siap ditumpahkan. Dalam hati ku dendangkan syair lagu sendu. Kau belumlah mengerti apa yang ku katakan tadi. Walau rasa sakit menyergap keseluruh jiwa, walau air mata mengalir dalam duka.

Kini tangan ku yang tak lagi bisu menyergap kilat menyentuh telapak tangannya lalu kusentuhkan agar ia tau bahwa kini alas bumi yang jadi pijakan seolah bergetar.

“Detik ini kau takkan mengerti apa yang aku rasakan. Kau takkan paham catatan putih yang ada direlungku. Tapi kini kau harus yakin bahwa rongga dalam hatiku telah terisi benih indah yang tak perlu kau tau siapa pemiliknya. Dan suatu ketika lah kau mengerti akan hal itu. Aku tak pernah mau melihatmu menagis karena ku”

“Baiklah kawan, namun aku kan tetap menjaga setiap nada cinta yang mengalun dalam keegoisan hati ini. Dan bila benih yang menusuk dalam rongga hatimu itu milikku, lalu akan tetap kutancap seperti panah yang menghujam. Namun bila benih itu bukanlah milikku, akan tetap ku tunggu sampai ia merapuh.”

Kulihat awan hitam dalam matanya, namun ia tak sudi tuk tumpahkan setitik air dari kelopaknya. Maafkan aku sobat yang telah berikan satu biasan hitam dalam cintamu.

*****

Bulan yang indah, kirimkan kata sayang ku padanya bahwa aku kini kecewa telah berdusta kata padanya. Bintang yang bersinar sampaikan padanya kini aku menangis meratapi keadaan cinta. Malam yang sunyi berikanlah ketenangan pada anganku agar aku tetap berdiri kokoh diatas kesakitan hatiku. Ya inilah. Inilah rasanya.

Detik yang terus berlari, meninggalkan masa yang telah lalu. Jaman yang berevolusi membuat metamorfosa hati ku semakin besar. Ya hati ku yang semakin membengkak bukan karena benih cinta dalam rongga. Namun inilah jawaban atas apa pertanyaan dalam dirinya. Pembengkakan hati yang terus menggerogoti akal ku.

Inilah jawaban kenapa aku tak mau menerima cintanya. Aku tak pernah mau melihat air matanya yang bergulir dikhususkan karena penyakitku.

Dan kini tiba saatnya aku terbujur lemah, mungkin malaikat pencabut nyawa telah ada dihadapanku dan siap melaksanakan tugasnya. Dalam tutupnya mataku, kudengar lantunan doa yang menghiasi dinding kamar. Indah, damai, tentram hatiku. Pembengkakan hati yang telah semakin membengkak membuatku harus bertekuk lutut pada apa yang telah ditakdirkan.

Tiba tiba ku melihat ayah dan bunda berdiri lalu menangis sejadinya. Kenapa mereka, menitikan air mata diatas badanku. Menggoyangkan sekujur tubuhku tapi aku hanya bisa diam. Tubuhku kaku, dingin dan aku pun sulit tuk menggerakannya. Sampai akhirnya kain putih memburamkan penglihatanku.

Inalilahi Waina Lilahi Rojiun

Kini aku telah tiada

Dalam prosesi pemakaman ku, dirinya hadir ditengah tengah tangis. Aku tak sanggup mengusap air matanya karena jiwaku tak lagi satu dengan raga. Dirinya terpaku pada tempat yang jadi peristirahatanku. Kini aku telah terbalut tanah basah yang dihiasi percikan bunga.

Diatas sini aku melihat ayah memberikan sepucuk surat yang pernah kutulis untuk dirinya. Dan ia pun membaca kata demi kata yang terus memperuntukan air mata.

Saat itu kita temui persimpangan yang mengalirkan air mata bagai sungai tak bertepi
ku terdiam dalam ranting pohon yang pernah menjadi saksi bisu kebersamaan kita.

Kau rupanya memilih satu jalur berbeda dari apa yang menjadi prinsipku. Kita berpisah pada persimpangan itu. Namun kekuatan cinta merealisasikan keadaan kita. Hingga kita bertemu disuatu titik.

Sahabat, apakah kau telah mengerti kini apa yang menjadi kendala dalam hati ku ? Sudah paham kah kau benih apa yang memadati rongga hatiku ? Ya inilah jawabnya. Kini kau temui ku terbujur kaku dalam perut bumi.

Sahabat, dalam hati ini kaulah penghuninya. Dalam sakit ini kaulah obatnya. Namun sahabat tetaplah sahabat. Kau tak pernah jadi pemuja jiwaku karena ku tau bila saatnya nanti kau akan terkejut melihat kenyataan ini.

Pesan terakhirku bila kau temukan cinta sejatimu nanti jagalah dia, mengertilah dia, dan cintailah kekurangannya. Jangan biarkan ia terlepas dari genggaman tangan mu hingga ia terjatuh, karena bila ia pergi nanti air matamu tak pernah sanggup membuatnya kembali.

Aku ingin seperti seorang bayi yang menangis saat ia lahir kedunia namun banyak yang tersenyum karenanya. Dan aku pun berharap aku meninggalkan dunia dengan banyak tangisan tapi aku tersenyum bahagia. I Love You so Much. Maafkan aku telah menyembunyikan semua ini. Yang aku mau adalah kau tersenyum dihadapan nisanku.

Dewi


Dan aku siap terbang menembus langit ketujuh, meninggalkan ayah dan bunda serta dirinya. Kan kutunggu mereka disurga. Karena malaikat kecil membawaku terbang bersama ke alam yang lebih indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar